Wartamelawi.com – Polemik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 terus bergulir dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan petani sawit. Aturan yang mengatur sanksi administratif bagi kebun sawit di kawasan hutan ini dianggap tidak berpihak pada petani kecil. Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Barat, Indra Rustandi, menilai kebijakan tersebut bisa menjadi “pukulan telak” bagi kehidupan ekonomi petani sawit swadaya di daerah.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terus menuai sorotan. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Provinsi Kalimantan Barat, Indra Rustandi, SM, turut angkat bicara terkait kebijakan tersebut.
Menurut Indra, aturan yang diteken pemerintah pada pertengahan September lalu sejatinya diharapkan menjadi solusi bagi jutaan hektare kebun sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan tanpa izin. Namun, ketentuan denda sebesar Rp25 juta per hektare per tahun justru dinilai sangat memberatkan, terutama bagi petani sawit mandiri.
“Bagi kami para petani swadaya, PP 45 Tahun 2025 ini sudah seperti ancaman nyata. Denda sebesar Rp25 juta per hektare per tahun sangat menghantui kehidupan petani yang kebunnya masuk dalam kawasan hutan,” ujar Indra, dikutip dari Sawitsetara.co. Kamis (09/10/25).
Ia menegaskan, DPW APKASINDO Kalbar bersama para petani sawit menolak keras penerapan PP tersebut. Bila aturan itu benar-benar dijalankan, dikhawatirkan akan memicu konflik sosial di lapangan.
“Kami mengecam dan menolak PP ini. Jika benar-benar diterapkan, bisa menimbulkan gejolak di masyarakat. Siapa yang berani menghadapi petani swadaya yang selama ini hidup dari sawit?” tegasnya.
Indra mengingatkan agar pemerintah tidak justru menekan masyarakat yang selama ini menopang perekonomian daerah melalui sektor sawit. Ia menilai kebijakan tersebut kontradiktif, karena di satu sisi pemerintah mendorong peningkatan produksi sawit, namun di sisi lain mempermasalahkan kebun yang dianggap masuk kawasan hutan.
“Aturan ini seperti bola salju yang bisa membesar kapan saja. Kami merasa dirugikan. Pemerintah menyuruh menanam, tapi setelah tumbuh malah dipermasalahkan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Indra menilai pemerintah seolah ingin menggenjot pendapatan negara melalui pungutan denda dari petani yang tidak bersalah. Padahal, ujar dia, petani sawit menanam dari hasil kerja keras sendiri tanpa dukungan anggaran dari pemerintah.
“Kami menanam dari keringat sendiri, mulai dari membeli bibit, mengelola lahan, hingga menjual hasil panen tanpa bantuan apa pun,” tutur Indra.
Untuk mencari solusi, DPW APKASINDO Kalbar telah berkoordinasi dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat. Salah satu usulan yang tengah dibahas adalah agar lahan-lahan petani sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan dapat dialihkan statusnya menjadi hutan kemasyarakatan atau perhutanan sosial.
Meski demikian, pihak KPH disebut belum dapat mengambil keputusan karena masih mempelajari ketentuan perubahan status kawasan hutan. Walau begitu, Indra mengungkapkan sudah ada contoh di beberapa daerah Kalbar di mana kawasan hutan berhasil dialihkan menjadi hutan kemasyarakatan tanpa harus dilakukan pelepasan kawasan.
“Di salah satu kabupaten di Kalbar sudah ada contoh. Lahannya tidak dilepas dari kawasan hutan, tapi dialihkan menjadi hutan kemasyarakatan,” jelasnya.
Indra berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog dan mendengar aspirasi petani sebelum memberlakukan aturan yang berpotensi mematikan ekonomi masyarakat sawit swadaya. (*/Bgs).