Wartamelawi.com – Di tengah semangat mendukung program Ketahanan Pangan Nasional, para petani di Desa Nanga Kompi, Kecamatan Sayan, Kabupaten Melawi, masih menghadapi tantangan serius. Kepala Desa Nanga Kompi, Embang, mengungkapkan bahwa sekitar 95 persen wilayah desanya berstatus hutan kawasan, sehingga ribuan hektar lahan pertanian tidak dapat digarap secara maksimal.
Hal itu disampaikannya dalam kegiatan penanaman padi bersama Kelompok Tani “Hanura” di Dusun Senain, Desa Nanga Kompi, Kecamatan Sayan. Senin (13/10/2025), yang turut dihadiri jajaran Danramil, Kapolsek, PPL, perangkat desa, dan masyarakat setempat.

Embang menjelaskan bahwa pemerintah desa berkomitmen penuh mendukung program ketahanan pangan nasional dengan mengalokasikan 20 persen Dana Desa untuk sektor ketahanan pangan, sesuai amanat regulasi. Tahun sebelumnya, fokus kegiatan difokuskan pada pengembangan tanaman jagung, sedangkan tahun ini diarahkan pada perluasan lahan persawahan.
“Saat ini sekitar 50 hektare lahan sudah terukur oleh PPL, sementara total potensi lahan pertanian di Desa Nanga Kompi mencapai 200 hektare,” jelas Embang. Ia menambahkan, potensi besar tersebut belum bisa dimanfaatkan secara maksimal akibat kerusakan irigasi dan status lahan yang hingga kini masih masuk dalam kawasan hutan.
“Lahan kami sebenarnya luas, tapi keterbatasan sumber air menjadi kendala utama. Sudah 14 tahun irigasi kami tidak pernah diperhatikan. Dulu desa ini dikenal sebagai lumbung padi, tapi sekarang banyak sawah terbengkalai,” ujarnya.
Embang menegaskan, kendala utama bukan hanya pada infrastruktur, melainkan juga pada status hukum lahan yang membuat pemerintah daerah tidak berani mengalokasikan anggaran untuk pembangunan atau perbaikan jaringan air. “Kami ini masyarakat yang mau bekerja, bukan merusak. Tapi bagaimana kami bisa menanam kalau lahan kami masih disebut kawasan hutan? Kami mohon kepada pemerintah pusat dan daerah agar segera mengalihkan status kawasan menjadi lahan pertanian produktif, supaya kami bisa bekerja dengan tenang dan legal,” tegasnya penuh harap.
Lebih lanjut Embang katakan. Jaringan irigasi yang rusak berat dan tidak berfungsi lebih dari 14 tahun membuat sebagian besar sawah tidak bisa ditanami. Padahal, irigasi tersebut merupakan peninggalan masa pemerintahan almarhum Bupati Sunan Kurik bersama Pak Firman Montako, dan sejak saat itu belum pernah dilakukan perbaikan menyeluruh.
Kondisi ini diperparah dengan status lahan yang masih termasuk hutan kawasan, sehingga pemerintah desa dan daerah kesulitan melaksanakan program pembangunan atau rehabilitasi. Meski demikian, para petani tetap bersemangat mengolah lahan seadanya dengan pendampingan dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Mereka juga masih menerima bantuan bibit dan sarana produksi dari pemerintah pusat, meski pemanfaatannya belum optimal karena keterbatasan air.
“Tanpa perubahan status lahan, mustahil program pengairan bisa berjalan. Pemerintah desa sudah berupaya, tapi tetap terbentur aturan,” ujar Embang.
Kegiatan penanaman padi di Desa Nanga Kompi bukan sekadar seremonial, melainkan wujud nyata tekad masyarakat pedesaan untuk terus berkontribusi dalam memperkuat ketahanan pangan nasional, meski dihadapkan pada berbagai kendala struktural dan regulatif. Embang berharap pemerintah pusat dan daerah benar-benar memperhatikan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat desa agar program ketahanan pangan tidak hanya menjadi slogan, tetapi memberi dampak nyata bagi kesejahteraan petani.
“Kami bekerja bukan untuk merusak, tapi untuk hidup. Tanpa bertani, kami tidak bisa makan. Kami hanya ingin pemerintah mendengar dan memberi solusi,” tutupnya dengan nada harap. (Bgs).