Wartamelawi.com – H. Uti Syahrir lahir di Sintang pada 17 Agustus 1948, tepat pada momen bersejarah HUT ke-3 Kemerdekaan Republik Indonesia. Kehadiran beliau di dunia seakan menjadi anugerah tersendiri bagi Sintang, karena sejak muda hingga akhir hayatnya, sosok beliau selalu memberi warna dalam perjalanan seni, budaya, dan kehidupan bermasyarakat. Beliau juga merupakan kerabat dari Keraton Al-Mukarramah Sintang, sebuah garis keturunan yang melekat kuat pada kehidupannya.
Dalam kehidupan rumah tangga, beliau menikah dengan Hj. Nurhayati. Dari pernikahan ini, lahir empat orang anak yang kemudian menghadiahkan 11 cucu, menjadi penerus keturunan yang kelak mewarisi nilai, akhlak, dan kecintaan beliau pada budaya. Semasa hidup, beliau tinggal di Jalan Bintara, kawasan yang juga dikenal dengan nama Menyumbung atau Kampung Raja, yang sarat dengan sejarah Keraton Sintang.
Meski latar belakang pendidikan beliau hanya sampai tingkat SMP, namun wawasan dan pola pikirnya sangat terbuka. Beliau dikenal ramah, mudah bergaul, dan mampu merangkul siapa saja. Karakternya ini menjadikan beliau sebagai pribadi yang dihormati, disegani, sekaligus dicintai masyarakat. Kariernya di pemerintahan juga mengantarkan beliau sebagai pegawai Pemda Kabupaten Sintang hingga akhirnya memasuki masa purna tugas.
Kecintaan Pada Seni dan Budaya
Sejak muda, H. Uti Syahrir telah menekuni seni dan budaya, khususnya seni tradisi Melayu. Beliau aktif menggerakkan kegiatan di Sanggar Sultan Nata (Sanggar Keraton Sintang) dan Sanggar Bukit Kelam. Kecintaan pada dunia seni tidak hanya berhenti pada hobi, tetapi menjadi jalan pengabdiannya bagi pelestarian budaya daerah Sintang yang kian tergerus arus zaman.
Aktivitas beliau juga merambah ke berbagai organisasi, di antaranya sebagai pengurus Lembaga Lanjut Usia Kabupaten Sintang, Penasehat Majelis Adat Budaya Melayu Kabupaten Sintang, serta pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Kabupaten Sintang. Semua peran itu dijalani dengan sepenuh hati sebagai wujud bakti untuk masyarakat dan daerah.
Jejak Karya dan Perjalanan Budaya
Sosok yang lebih dikenal dengan nama pena “Bang Sanontang” ini, adalah seniman syair yang berpengaruh di Kabupaten Sintang. Karya-karya syairnya sarat makna, memadukan nilai moral, nasihat kehidupan, serta keindahan bahasa yang khas. Salah satu karyanya yang monumental adalah buku “Bumi Senentang, Negeri Bersyair” yang dipersembahkan kepada Bupati dan Wakil Bupati Sintang periode 2005–2010. Buku tersebut mendapat apresiasi karena tidak hanya memuat syair indah, tetapi juga menjadi refleksi pemikiran beliau atas pembangunan daerah.
Selain itu, beliau juga menghasilkan karya buku “Wisata Sintang” dan “Sintang Mengundang” yang diterbitkan oleh Pemda Sintang. Kedua buku ini berisi perkenalan terhadap potensi wisata dan budaya Sintang, sebagai upaya memperkenalkan kekayaan daerah ke masyarakat luas.
Uti Syahrir juga kerap terlibat dalam berbagai ajang budaya. Ia tercatat mengikuti Festival Budaya Khatulistiwa di Pontianak tahun 1993, mendampingi Sultan Sintang pada Festival Adat Mandi-mandi Pengantin tahun 2008, menghadiri pertemuan Lembaga Adat Melayu se-ASEAN di Bengkalis dan Batam tahun 2005, hingga pameran budaya di Bandung tahun 2013. Bahkan, beliau juga pernah menjadi bagian dari tim penjemput patung Burung Garuda lambang Kesultanan Sintang yang memiliki kaitan erat dengan lahirnya lambang negara Republik Indonesia.
Teladan Hidup dan Prinsip Kehidupan
Lebih dari sekadar seniman, H. Uti Syahrir adalah sosok yang penuh kebijaksanaan. Beliau menekankan prinsip hidup:
“Selalu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjalani hidup sederhana, mengikuti aturan dan norma agama. Jangan banyak berharap pada manusia, cukup kepada Allah SWT. Hadapi tantangan dengan bijak, berusaha sekuat tenaga, lalu serahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa.”
Beliau dikenal ringan tangan, tak pernah pilih kasih dalam menolong, dan sering menjadi penengah dalam perselisihan keluarga besar. Dengan ketulusan dan kebijaksanaannya, beliau selalu mampu menyelesaikan permasalahan dengan damai. Bagi beliau, menolong adalah kewajiban tanpa pamrih, semata untuk meringankan beban sesama, karena balasan terbaik hanya datang dari Allah SWT.
Dalam keluarga besar yang jumlahnya mencapai ratusan kepala keluarga, beliau selalu berusaha menjadi perekat. Melalui kegiatan arisan keluarga maupun silaturahmi saat hari raya, beliau meneguhkan kebersamaan tanpa memandang usia ataupun kedudukan.
Wafat dan Kenangan
Namun kini, masyarakat Sintang harus merelakan kehilangan sosok panutan ini. H. Uti Syahrir telah berpulang ke Rahmatullah pada Kamis, 25 April 2024. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, namun sekaligus mengukuhkan warisan berharga berupa karya seni, kebijaksanaan hidup, serta teladan pengabdian yang tak ternilai.
Walau raganya telah tiada, karya-karya beliau khususnya syair yang indah akan selalu hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Pesan terakhir beliau untuk anak-anak muda bahkan dituangkan dalam syair berjudul “Raihlah Prestasi” dan “Pesan Buat Generasi Penerus.” Syair tersebut menjadi amanah agar generasi muda tidak berhenti belajar, berprestasi, tetap rendah hati, dan menjaga tradisi.
Sungguh, H. Uti Syahrir adalah pribadi yang tak hanya mengabdikan hidupnya untuk keluarga, tetapi juga untuk daerah, budaya, dan masyarakat luas. Beliau adalah bukti nyata bahwa kecintaan terhadap seni dan ketulusan hati dapat menjadikan seseorang dikenang sepanjang masa. Kini, giliran generasi muda untuk melanjutkan jejak beliau, menjaga warisan budaya, dan meneruskan api semangat yang telah beliau nyalakan. (Bgs).